Suku Bugis


Bugis merupakan salah satu suku bangsa yang berasal dari Sulawesi Selatan. Orang Bugis mendiami kabupaten BuluKumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Sindenreng-Rappang, Polewali-Mamasa, Luwu, Pare-pare, Barru, Pangkajene, dan Maros. Daerah Pangkajene dan Maros merupakan daerah per-alihan yang juga didiami oleh anggota suku bangsa Makassar.
Suku bangsa Makassar erat sering dikaitkan dengan suku bangsa Bugis, sehingga sering ditemukan istilah Bugis-Makassar. Namun, antara suku bangsa Bugis dan Makassar, sebenarnya merupakan dua kelompok etnik yang berbeda dengan variasi budaya masing-masing.
Bahasa :
Orang Bugis mempunyai bahasa sendiri, yaitu bahasa Bugis. Bahasa Bugis masih merupakan keluarga besar dari bahasa Austronesia Barat. Ada beberapa dialek yang masih dipakai yaitu dialek Luwu, Wajo, Palakka, Enna, Soppeng, Sindereng, Pare-pare, Sawitto, Telumpanuae, dan Ugi. Selain itu, orang Bugis juga memiliki aksara sendiri, yaitu aksara lontara yang berasal dari huruf Sansekerta. Jenis-jenis Lontara antara lain :
1. Paseng, kumpulan amanat keluarga atau orang-orang bijaksana yang diucapkan atau dihafal.
2. Attoriolong, kumpulan catatan-catatan mengenai asal-usul turun-temurun raja-raja atau keluarga tertentu.
3. Pau-pau ri kadong, cerita rakyat yang mengandung sifat-sifat legendaris.
4. Pau-pau atu talo’, cerita rakyat yang biasanya menceritakn seorang tokoh yang memang benar-benar ada.
Kesusastraan :
Sure’ Galigo, Sastra lisan yang berkembang di lingkungan istana Kerajaan Bugis dan Kerajaan Makassar. Dalam Sure’ Galigo ini terangkai syair-syair yang mengandung makna sangat dalam dan kebijaksanaan sangat tinggi.
Syair-syair klasik Bugis, mempunyai bentuk dan isi yang lain dari bentuk-bentuk syair klasik nusantara. Biasanya syair-syair ini masih sering dinyanyikan pada saat pesta perkawinan (di pedalaman Tana Bugis). Contoh syair :
De’ga pasa’ ri lipumu
Balanca ri kampommu
Mulinco’ mabela?
Artinya :
Tak adakah pasar dinegerimu,
Maka engkau mengembara jauh,
Untuk berbelanja?
Pantun, pada umumnya didasarkan atas perbandingan-perbandingan dengan alam sekitarnya. Ada juga yang berisi sindiran atau kritikan terhadap suatu peristiwa. Contoh pantun :
An-jo to-pe tas-sam-pe-a
Te-a-ko jal-lling ma-ta-i
Nia pa-tan-na
Ta-na-ka-lim-bu’-na ma-mi
Artinya :
Sarung yang tergantung itu,
Jangan kau tumpahkan kerling mata,
(karena) telah ada yang empuya,
Hanya belum diselimutinya.
Sinrili’, adalah salah satu hasil kesusastraan klasik orang Bugis yang juga amat disenangi sampai sekarang. Sinrili’ bisa disebut dengan cerita yang disusun secara poetis, atau prosa lirik yang diceritakan dengan jalan menyanyi, diiringi oleh sebuah alat musik gesek (keso’-keso’).
Lingkungan Alam :
Iklim di daerah Sulawesi Selatan adalah iklim tropis. Temperatur dan tekanan udara disana tidak terlalu memperlihatkan fluktuasi yang besar. Dikarenakan penduduk Sulawesi Selatan sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani, maka mereka sangat memperhatikan tentang cuaca, baik hujan dan angin. Wilayah pemukiman orang Bugis ada yang berupa dataran rendah, daerah perbukitan, dan daerah pegunungan Dataran rendah ada di bagian selatan. Lingkungan pegunungan yang diselingi hamparan sawah terdapat di daerah Sidrap dan Maros.
Sulawesi Selatan dikenal sebagai salah satu daerah lumbung padi Indonesia. Produksi panen lainnya ialah, jagungn, ubi kayu, ubi jalar dan kacang-kacangan. Adapula hasil perkebunan yang antara lain terdiri dari kelapa dan kopi. Kedua hasil perkebunan ini telah menjadi komoditi ekspor. Sulawesi Selatan juga merupakan daerah yang subur sekaligus kaya akan kandungan mineral seperti bijih tembaga, batu bara, emas, nikel, minyak tanah, dll.
Sistem kekerabatan :
Dalam kalangan masyarakat Bugis, sistem kekerabatan yang dianut adalah Ade’ asseajingeng. Sistem ini menyatakan peranannya dalam hal pencarian jodoh atau perkawinan untuk membentuk keluarga baru. Dalam penarikan garis keturuanan mereka berpedoman kepada prinsip bilateral, artinya hubungan seseorang dengan kerabat pihak kerabat ayah dan pihak ibu sama erat dan pentingnya.
Masyarakat Bugis terdiri dari dua golongan yang bersifat eksogam, pertalian kekerabatan dihitung menurut prinsip keturunan matrilineal, tetapi perkawinan bersifat patriokal. Dalam suatu perkawinan, orang Bugis sangat memperhatikan uang belanja yang diberikan dari mempelai laki-laki. Makin besar pesta perkawinan itu ( uang belanja ), makin mempertinggi derajat sosial seseorang, walaupun harus dibelinya dengan kebangkrutan, atau dengan berhutang sekalipun.
Penggolongan kerabat (seajing) di kalangan orang Bugis dibedakan antara rappe atau kelompok kerabat sedarah (consanguinity) dan sumpung lolo atau pertalian kerabat karena perkawinan (affinity). Kerabat itu dibedakan pula atas kerabat dekat (seajing mareppe) dan kerabat jauh ( seajing mabela).
Adat-istiadat :
Orang Bugis masih hidup diantara sistem norma dan aturan-aturan yang dianggap luhur dan keramat. Keseluruhan sistem norma dan aturan-aturan adat tersebut dinamakan dengan Panngaderreng. Panngaderreng atau panngadakkang ini dapat diartikan sebagai keseluruhan norma yang meliputi bagaimana seseorang harus bertingkah-laku terhadap sesama manusia dan terhadap pranata sosialnya secara timbal balik. Terdapat pemberian gelar terhadap seseorang yang dianggap memiliki kelebihan dalam melihat dan menyimak suatu keadaan yang akan atau nanti terjadi, yang biasa menyebutnya sebagai sosok ’Panrita’.
Sistem Pannagaderreng terdiri atas lima unsur pokok, yaitu : Ade’, Bicara, Rapang, Wari’, dan Sara’ (salah satu unsur pokok yang diadopsi dari ajaran Islam, syareat Islam). Unsur-unsur pokok tersebut terjalin satu sama lain sebagai satu kesatuan organis dalam alam pikiran orang Bugis, sehingga mereka sangat menjunjung harga diri, kesemuanya terkandung dalam satu konsep yaitu Siri’.
Unsur Ade’ berisi norma-norma dalam sistem kekerabatan dan norma dalam sistem pemerintahan negeri. Bicara adalah norma-norma yang terkait dengan peradilan. Rappang merupakan analogi, kias, atau ungkapan adat untuk menjaga kontinuitas hukum. Wari’ adalah klasifikasi benda, peristiwa, dan aktivitas dalam kehidupan bermasyarakat. Sara’ adalah kaidah-kaidah yang berasal dari Islam.
Sistem kepercayaan :
Religi orang Bugis dalam zaman pra-Islam seperti yang disebutkan dalam sure’ Galigo (karya sastra kuno Bugis), sebenarnya telah mengandung suatu kepercayaan kepada satu dewa yang tunggal, yang disebut dengan beberapa nama seperti : Patoto’E (Dia yang menentukan nasib); To-palanroE (Dia yang menciptakan); Dewata seuaE (Dewa yang tunggal); Tu-riE A’ra’na (kehendak yang tertinggi); Puang Matua (Tuhan yang tertinggi).
Waktu agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan pada permulaan abad ke-17, maka ajaran Tauhid dalam Islam, dapat mudah diterimadan proses itu dipercepat dengan adanya kontak terus-menerus dengan pedagang-pedagang Melayu Islam yang sudah menetap di Makassar, maupun dengan kunjungan-kunjungan niaga orang Bugis ke negeri-negeri lain yang penduduknya sudah beragama Islam.
Siri’. Ketika dibicarakan tentang Panngaderreng, telah disebut tentang konsep siri’, yang menintegrasikan secara organis semua unsur pokok dari panngaderreng. Namun dari hasil penelitian yang terjadi di lapangan, diketahui bahwa konsep siri’ itu, telah diintegrasikan dalam berbagai macam bidang. B.F. Matthes, menerjemahkan instilah siri’ itu dengan ‘malu’, ‘beschaamd’, ‘schroomvallig’, ‘verlegen’. Diakui oleh beliau bahwa penjabaran baik dengan bahasa Indonesia maupun dengna bahasa Belanda, tidak dapat mendekati maknanya secara tepat. Dilain pihak, C.H. Slambasjah memberikan batan atas kata siri’ dengan memberikan tiga pengertian :
1. Siri’ sama artinya dengan malu, isin (Jawa), shame (Inggris).
2. Siri’ merupakan daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh), mengasingkan, mengusir, terhadap barang siapa yang menyinggung perasan mereka. Hal ini merupakan kewajiban adat, kewajiban yang mempunyai sanksi adat, yaitu hukuman menurut norma-norma adat, jika kewajiban itu tidak dilaksanakan.
3. Siri’ sebagai daya pendorong, bervariasi ke arah sumber pembangkitan tenaga untuk membanting tulang, bekerja mati-matian, untuk suatu pekerjaan atau usaha.
Menurut Casutto, Siri’ merupakan pembalasan yang berupa kewajiban moril untuk membunuh pihak yang melanggar adat. Dari beberapa definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk mendekati batasan siri’, tidak mungkin orang memandang dari satu aspeknya sja, memperhatikan perwujudannya saja. Hal itu mudah dimenerti, karena siri’ adalah suatu hal yang abstrak dan hanya akibtnya saja yang berwujud konkret sehingga dapat diamati dan diobservasi.
Disamping konsep siri’ itu, terdapat lagi semacam konsep yang dianggap sedikit lebih rendah dari konsep siri’, yaitu pesse. Menurut arti leksikalnya, pesse/ pacce dapat diterjemahkan dengan ‘pedis’ atau ‘pedih’. Sebuah ungkapan dalam amanat orang-orang tua menerangkan konsep pesse/ pacce itu sebagai berikut : “Ia sempugikku rekkua de’na siri’na, engka messa pessena” yang artinya “mereka sesama saya orang Bugis, bilamana siri’ itu padanya tak ada lagi, akan tetapi niscaya masih ada pesse-nya”. Sehingga dapat dikatakan bahwa pesse adalah semacam dya dorong untuk menimbulkan rasa solidaritas yang kokoh dikalangan orang Bugis.
Kesenian :
folklore didefinisikan sebagai perbuatan-perbuatan (tarian), benda-benda, cerita rakyat yang belum dicatat atau dituliskan (folktale). Contoh beberapa folktale yang berkembang diantara orang-orang Bugis adalah Pocci-Tana, asal-usul kota (Toraja dan Luwu, Sinjai, Enrekang dan Mangkendek, dan Bulukamba), Pemmali (tentang larangan atau pantangan).
Seni tari yang berasal dari suku Bugis (Sulawesi Selatan) pada mulanya bersumber dari rangkaian pemujaan kepada dewa-dewa yang dianggap menguasai alam semesta dan segala sesuatu di atas dunia ini. Tari-tari pujian yang ditujukan kepada dewa-dewa tersebut menunjukkan semacam gerakan anggota badan yang lemah gemulai, diiringi oleh bunyi-bunyian yang merayu-rayu, utnuk membujuk atau mempengaruhi sang dewa agar memenuhi permintaan manusia. Contoh tarian dari suku Bugis : Pagellu’ (tarian khas dari daerah Toraja), Pajaga (dari daerah tana-Luwu), Pajoge (dari daerah tana-Bone), Pakarena (dari daerah Butta Gowa), Patuddu’ (dari daerah Mandar). Selain contoh diatas masih ada beberapa tarian lain yang sifatnya occasional seperti tarian Ma’dandan dan Manimbong yang hanya ditarikan pada ritual-ritual sebagai rasa syukur terhadap para dewa, ataupun tari ma’badong dan ma’rakka yang ditarikan pada pesta (selamatan) kematian.
Alat-alat yang digunakan untuk mencari nafkah (mata pencaharian), mencakup alat pencaharian hidup di laut seperti Perahu dan alat-alat penangkap ikan. Ada beberapa jenis perahu yang berasal dari suku Bugis, yaitu Perahu Pinisi (perahu dagang dengan ukuran sangat besar), Lambo’/ palari (perahu dagang yang ukurannya lebih kecil dari Pinisi), Lambo calabai (Perahu dagang yang bentuknya seperti kapal-kapal biasa).
Demografi :
Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan. Jumlah orang Bugis tidak dapat diketahui dengan pasti, termasuk dalam data sensus penduduk tahun 1930 yang memperhatikan identitas kesuku-bangsaan. Dalam sensus tersebut orang Budis dan Makassar disatukan dan jumlahnya tercatat sekitar 2.5 juta jiwa. Jumlah orang Bugis semakin terlihat sedikit karena kini mereka tidak saja berdiam di daerah asalnya di Sulawesi Selatan, melainkan juga tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Mereka dikenal sebagai masyarakat perantau dan masyarakat bahari yang sudah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu. Berbagai sumber menunjukkan bahwa orang Bugis menjadi alah satu unsur yang melahirkan masyarakat Betawi, sebagai suatu hasil asimilasi dengan berbagai anggota masyarakat lain sebagai unsurnya. Orang Bugis juga menjadi penyebar agama Islam di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur. Bukti sifat kebaharian itu dapat juga dilihat dari daya jelajah mereka dengan perahu-perahu pinisinya.
Asal-usul dan latar belakang :
Suku Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku suku Deutero-Melayu, atau Melayu muda. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata 'Bugis' berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Tiongkok, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar didunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
Latar belakang sejarah orang Bugis khususnya dan masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya ditandai oleh sebuah epos bukti-bukti peninggalan dari jaman prasejarah, tulisan pada lontar (lontara) hasil-hasil teknologi tradisional, serta konsepsi-konsepsi budaya. Sebagai contohnya, Sure’ Galigo dan lukisan-lukisan di dinding gua (Leang). Leang yang ditemukan di Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep memperlihatkan macam-macam wujud atau motif, seperti cap tangan, babi-rusa, cap kaki, motif perahu, binatang melata, figur manusia, motif geometris, dll. Lukisan-lukisan tersebut cenderung lebih mengemban makna religi daripada ekspresi keindahan. Lukisan cap jari, misalnya yang terdapat di Leang Pettakere merupakan cap tangan yang hanya trdiri atas empat jari tanpa telunjuk. Pemotongan jari itu diperkirakan dilakukan dalam rangka menghadapi suatu perkabungan.
Rumah Tradisional : Berbentuk panggung yang terdiri atas tingkat atas, tengah, dan bawah. Tingkat atas digunakan untuk menyimpan padi dan benda-benda pusaka. Tingkat tengah, yang digunakan sebagai tempat tinggal, terbagi atas ruang-ruang untuk menerima tamu, tidur, makan dan dapur. Tingkat dasar yang berada di lantai bawah diggunakan untuk menyimpan alat-alat pertanian, dan kandang ternak. Rumah tradisional bugis dapat juga digolongkan berdasarkan status pemiliknya atau berdasarkan pelapisan sosial yang berlaku.


Get Free Music at www.divine-music.info

Get Free Music at www.divine-music.info



Free Music at divine-music.info



No comments:

Post a Comment

Pencarian